.comment-link {margin-left:.6em;}

bricolage \bree-koh-LAHZH; brih-\, noun: -a dump site for anything at hand, in mind-

Monday, June 30, 2008

"Jangan lupa dendengnya.."

Minggu ini, anak-anak kos di sekitar (kos) gue mulai pada balik dari liburan semester atau liburan apa lah namanya. Mobil dengan "Papah" dan "Mamah" sebagai penumpang mulai antre keluar masuk gang buntu yang menjadi alamat rumah kos. Mereka mulai berdatangan minggu sore. Ada yang Minggu subuh udah datang, tapi nggak pake "papah" dan "mamah" alias datang sendiri karena kemalaman clubbing dan lebih dekat pulang ke kos.

Lalu lintas orang lalu lalang pastinya nambah. Disertai makin banyak bawaan yang keluar masuk. Stok pakaian musim hujan pasti ganti dengan musim panas. "Mamah" pasti sibuk membantu membawakan barang-barang sang anak kesayangan, sementara "Papah" nunggu di mobil, siap-siap manuver kalo ada mobil atau taksi lain datang.

Mamah: Dendeng belum diambil, ya? Yang ini udah diambil.. ntar untuk keperluan kamu ke kampus gimana.." (sunyi sejenak, suara tas kresek diletakkan). "Nanti cuciannya gimana? Kalo Papah berangkat ke kantor ya?"
Anak kos: "Iya, kalo Papah sampe sini setengah tujuh, nanti cuciannya aku kasih. Kalo nggak ya nggak apa-apa. Minggu depan kan aku internship."

Gue terus-terang bersimpati banget sama peran "Papah" karena harus menyimpan cucian kotor di mobil mulai pagi sampe sore

Lucu juga mahasiswa dan mahasiswi di Jakarta ini.. Tinggal di daerah dekat kampus dengan berbagai alasan: supaya tidak harus bangun pagi buta dari rumah menuju ke kos, menghemat uang transportasi, bisa belajar kelompok, bisa cukup istirahat.. Tujuannya emang untuk ngirit, bukan untuk hidup lebih mandiri.. Orang tua pun menyelenggarakan berbagai trik ekstra agar (kehidupan) kuliah dapat terus terlaksana.. Termasuk puluhan pasang sepatu (meski hanya keluaran Blok M), makan di kafe terdekat (meski yang paling murah), laptop (meski yang low end punya), ongkos taksi (meski hanya akhir minggu atau Senin pagi)..

Labels:

Wednesday, June 18, 2008

motor harakiri

Motor buatan jepang yang tidak terlalu kurus dengan mesin 125cc dan dua buah roda, disupiri mbak-mbak pake helm pink atau bapak-bapak dengan helm disain gahar memaksa masuk di antara trotoir dan motor lain. Mau nyalip dari mana? Secara jarak tepi trotoir dan motor lain itu cuma setengah meter kali.. Nyalip dari kiri dong! Itulah motor di Jakarta.

Gak jaman dan gak keren kalo naik motor beraninya cuma di jalur kiri.. Bisa dapat penghargaan dari polisi. Yang paling keren adalah nangkring di jalur "busway", tahta khusus milik bus Transjakarta yang ukurannya sekian kali lipat ukuran motor. Kalo udah di jalur busway, motor-motor kecil itu bisa berendengan..

Belum lagi cari jalur kosong, melintas dari kiri ke tengah, lalu ke kanan, lalu ke tengah dan ke kiri lagi. Bingung baca tulisan ini ya?? Gue juga! Kira-kira, gitu deh rasanya mengemudikan kendaraan di Jakarta. Baik naik motor maupun mobil.

Punya mobil baru? Ow jangan marah ya kalo baru tiga bulan cat udah pada baret. Paling parah bagian spion. Punya asuransi penting banget di Jakarta, karena sebab-musabab spion patah adalah diterpa motor.. Wah hebatnya.. kendaraan roda dua itu bisa menerpa spion begitu kerasnya hingga menimbulkan risiko patah! Err.. barangkali ini agak membual. Tapi telinga mobil yang relatif lebar, biasanya mudah kena. Mobil kecil relatif aman. Tapi risiko baret teteup..

Kata teman gue, mestinya motor itu cuman dikasih karunia kecepatan sampe 60km/jam aja. Gak usah lebih, karena emang gak bakal mampu. Itu juga bagian dari upaya mengurangi kecelakaan.

Labels:

Tuesday, June 17, 2008

me, slurring one day

That evening I hopped into a noisy, air-polluting three-wheeled scooter with passenger seat and asked the smelly driver to just go ahead. I stopped by the nearest Circle K to revisit the taste of clove cigarettes with some hints of mints that was remodeled after slim Vogue cigarettes and headed for a nearest bistro with enough lighting.

Settled my butt on a peranakan style dining table in a bistro-wannabee cafe, I stared blankly at a blackboard full of texts written in colorful chalks that says "I Love You" in 50 languages. Focusing my not-so 20/20 vision, I put down the "Elephant Vanishes" and started to pity those abundant Hindi speakers as they have to go through the whole nine yards to express, "Hum Tumse Pyar Karte Hain", then started to understand where did the Italians got their practical romanticism with "Ti Amo". I dunno whether I should pity the Thais to have their "L" word sounds like fried noodles menu with "Phom Rak Khun", while the Czechs probably got the cutest "Miluji te" (well.. "milu" means "corn" in one of Indonesia's local tribe lingo. It still sounds cute tho..).

I got stuck with a couple of love birds turning their backs from me trying their best not to make out publicly while sitting under a huge painting of a woman wearing dark Kimono with blindfolded eyes and mouth tied across the jaw. What a mocking paradox to my being alone, sipping "Lust for Life", which is probably the cheesiest mocktail that plunges together Pepsi Blue, lotsa ice, Crème de menthe syrup, lemon juice and.. milk! I must have been feeling enough blue to order "Gnocchi in Blue Cheese" that didn't look blue at all. A bit soppy though not gooey, though too late to request my order as a side dish. I was stuck to finish a pool of blue cheese sauce.

The group of chatty women who arrived after my wondering at the Ethiopian "L" word complained about the presence of mushrooms in a pizza they ordered despite their request to omit them. The waiter argued that the specific pizza had to have mushrooms in it. Whud? Is this eatery trying to kill their customers by not suggesting other menu upfront??

As I was puffing my second dose of nicotine and tar, my head started to turn and felt the itch to write. I had to ask three times to two people to give me a paper and pen. The petite girl with long black jet straight hair and eye lashes glued together by waterproof mascara had a PR look all over, but she gradually ran away after I posed my request.

In between my main menu and the itch to write, the waiter came up to my table and lit the floating candle on a glass cup, then the main lamp that has been bathing me with enough lights went off. Oh, that explained the candle service.. I couldn't continue reading, though I could still manage to spoon the Gnocchi, burn more cigarettes and jot down a few sentences.

Spinning my pen between my fingers and enjoying the nicotine and tar that slowly seeped into my system, the image of lovely pillows was floating above my head. I got up, paid the bills and hailed a scooter cab back home.

Loca
Jl. Benda No. 7A,
Kemang, Jakarta Selatan
Phone: 021 - 7883197

Yay:
* Free hot spot
* Various choices of coffees
* Comfy sofas, wooden desks and chairs
* Pasta and pizza
* Scheduled music and exhibition (photo etc).

Nay
* Menu knowledge is low
* Menu description can be deceiving
* Smoking area in all tables
* Service is kinda slow
* Make sure what you order several times

9-10 US$ per person for meal, beverage and desert.

Labels:

Friday, June 06, 2008

"Tu dia ho dung mate ho.."*

Temen gue punya keluarga besar sarat rutinitas adat dan budaya. Mereka setia memeliharanya hingga jaman moderen. Kali ini ada cerita tentang kuburan. Biasanya, tentang arisan yang bisa berjalan sekian kali dalam sebulan dengan dress code tertentu yang harus dipatuhi.

"Lu tau gak.. sekalinya ke kuburan bokap mertua gue, kaga cukup tuh 200 rebu!" Ujarnya seraya menunjuk pada kembang mawar gadis manis di kantor, hasil kiriman pacar setia. "Mawar kayak gini nih.. Lalu, abis gitu mampir beli minuman di tukang teh botol.. Lu bayangin aja kalo satu keluarga isinya 23 orang. Belon termasuk anak-anaknya. Tambah bedinde-bedinde.. Kebayang dong pengeluaran gue berapa??" Dia mengaku gak mau keluar duit tiap kali ke kuburan.

Tahun ini satu tahun wafatnya mertua dia. Sang kakak ipar bertanya, "Eh kamu kan sering bikin suvenir untuk kantor. Tanya dong, berapa tuh kalo bikin kaos gambar papi?" Temen gue langsung jatoh dari kursi. "Gue cuman dikasih budget sejuta setengah.."

Sebagai tambahan, kuburan juga tempat ketemu jodoh. Dia cerita, salah satu keluarganya ketemu jodoh akibat ada dua keluarga besar sedang visite ke kuburan dan ada dua jomblo yang saling ketemuan.

Oh kuburan..

=============================

"Tu dia ho dung mate ho.." (Batak languange), means "Where would you go after you die."

Photo courtesy of sxc.hu

Labels: